Nikah? Begini Kata Jomblo Dhuafa... (Sebuah Opini)

Nikah

Opini oleh: A. Muzaki


Perjuangan sepasang kekasih itu tidak berakhir di ijab-qobul, justru itu menjadi permulaan. Pernikahan akan dijalani sepanjang hayat. Dua sejoli akan menempuh kehidupan yang bernama rumah tangga. Makna dari rumah-tangga ialah tangga di dalam rumah. Tapi bukan tangga buat manjat genteng yang ditaruh di dalam rumah. Tangga di sini dimaknai secara filosofis.

Seperti teman-teman tahu, bentuk tangga adalah seperti itu; terdiri dari handle (railing) dan anak tangga. Tangga adalah alat yang digunakan untuk menggapai tempat yang lebih tinggi, di sini berarti kehidupan sepasang suami-istri punya tujuan increasing (meningkat) dari yang kurang baik menjadi lebih baik dalam hal-hal terkait. Di antara anak tangga satu dengan yang lain terdapat space, ini melambangkan cobaan yang datang di sela-sela step atau pencapaian (anak tangga) yang dilalui.

Sebuah tangga dapat berdiri kokoh hanya jika dua tiang di sisi kanan-kiri kuat. Dua tiang itulah suami dan istri. Kalau keduanya dapat mempertahankan kekokohannya maka selamatlah ikatan pernikahan.

Menikah bagi sebagian manusia lajang terutama yang usianya di bawah 30 tahun adalah hal yang prestis. Hal tersebut dikarenakan tradisi masyakarakat kebanyakan di Indonesia yang penuh tuntutan ini-itu dalam penyelenggaraan pernikahan. Sebenarnya sih bukan pernikahannya (secara syariat agama) yang memerlukan banyak hal, tapi “event”-nya. Semakin banyak event atau acara semakin ribet dan tidak terjangkau-lah biayanya.

Merasa putus asa karena tidak kunjung nikah dan mendapat pasangan, seorang Jomblo nan dhuafa sering berpikir dan mencari-cari, permasalahan apa sebenarnya melingkupi dirinya? Dari situ muncullah pertanyaan-pertanyaan yang boleh jadi dipikirkan juga sama kamu.

Doi berpikir, apakah nikah itu harus mapan dulu?

Mapan bagi doi tidak selamanya soal finansial. Mapan bisa juga ditinjau dari segi lain, misal kecakapan. Dalam mengarungi samudra rumah tangga tidak hanya membutuhkan bekal logistik. Tapi juga kemampuan manajemen. Organisasi terkecil di dunia ini bisa kita temui dalam keluarga. Di mana seorang kepala keluarga menjadi pemimpinnya. Seorang pemimpin seyogyanya bisa mengatur segala hal yang terkait jalannya bahtera rumah tangga. Ia didapuk jadi ujung tombak. Nah, ini pentingnya belajar manajemen sebelum kita menginjakkan kaki di kehidupan yang tidak lagi soal nafsi-nafsi seperti ketika masa lajang. Dengan bekal pengalamannya menjadi ketua kelas dulu pas jaman sekolah dia boleh jadi bisa menaklukkan urusan manajemen atau atur-mengatur ini. Tapi apa si wanita bisa melihat itu? Secara, yang dapat terlihat itu ukuran penilaian layak atau tidak layak. Mapan profesi, mapan ekonomi, mapan tempat tinggal semua itu yang lebih menjadi prioritas.

Untuk itu maka butuh duit banyak. Sedangkan sampai saat ini uangnya hanya digunakan untuk kebutuhan diri sendiri. Kenapa orang mau nikah harus nunggu punya duit banyak dulu? Kenapa, wahai bapak-ibu? Kenapa tradisi sekejam ini? Kenapa adat semengekang ini? Jomblo dhuafa takut, minder, tak berdaya, saat dengar orang-orang bilang kalau mau nikah sekarang harus punya modal minimal 20 juta. Mungkin doi harus utang dulu sama bank biar dapat duit segitu banyaknya. Tapi mau menjaminkan apa? Doi tidak punya aset harta benda senilai itu. Sepeda motornya saja kalau dijual 3 juta tidak laku. Apa dia harus jaminkan nyawa?

Sepeda motornya keluaran tahun 2000an. Tak seperti dulu pas jaman lagi baru-barunya, sepeda motor dengan jenis yang dia miliki sekarang masuk dalam golongan jadul, karena ada yang lebih baru dan lebih baru lagi. Menurut ukuran Jomblo Dhuafa—yang meskipun dhuafa--naik motor bareng kekasih, gengsi kalau pakai motor jadul. Secara, usianya masih muda, tapi ada tampilan-tampilan tua di tunggangannya, pasti akan terbawa tua. Begitu pikirnya

Ya Allah... jaman sekarang di jalan orang-orang sudah tidak pada naik sepeda lagi. Mereka naiknya pada sepeda motor. Sepeda motornya keren-keren pula. Kalau mau boncengin kekasih pakai motor butut, malu rasanya. Hamba jadi urung untuk berani menjalin hubungan dengan wanita.

Kalau dikalimatkan kurang lebih begitu curahan hati seorang Jomblo Dhuafa. Terbelenggu dalam kejombloan yang susah sekali didobrak sebab terganjal gengsi, juga karena menurutnya, sebelum punya kekasih harus punya motor keren dulu. Sedangkan Sepeda motor yang dia punya butut, dekil, suka mogok. Mau ditaruh di mana coba kegagahannya kalau seperti itu.

Selain dhuafa, suka gengsi, jomblo ini juga pendiam dan tertutup, lebih-lebih sama orang tuanya. Dia mikir, andai saja doi bisa berbincang santai sama bapak/ibunya soal pernikahan, mungkin agak sedikit teratasi ketidakmampuan finansialnya buat melangkah menuju pelaminan. Karena selain bermasalah dalam keuangan, doi juga selama ini masih ciut karena merasa belum mampu bahagiakan orang tua dan adik-adiknya. Dia mikir, siapa yang bisa kasih dukungan kalau tidak bapak/ibu.

Doi pusing dengan semua hambatan itu. Belum mapan, nggak punya modal, nggak punya aset harta benda, nggak pinter negosiasi sama orang tua, jadi satu jalinan benang sebelum jalinan kasih sayang dengan kekasihnya berani muncul. Benang itu berkelindan di pikiran. Terkadang putus asa menghampirinya. Setan membisiki tentang keputusan-keputusan negatif. Bagaimana kalau aku buat “kecelakaan” saja biar bisa nikah cepat. Pacari satu orang wanita. Bawa dia ke kebun teh. Lakukan seperti di film-film. Sampai dia hamil. Diminta tanggung jawab. Nikah deh. Adegan barusan jangan ditiru ya, guys.

Ya begitulah. Pada dasarnya, dengan keinginan untuk menikah tidak sengaja kita telah menampilkan konsep “treadmill hedonis”: kita selalu bekerja keras untuk mengubah situasi hidup kita, namun sebenarnya kita tidak pernah merasa sangat berbeda... konsep tersebut dipaparkan di buku Mark Manson, Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat. Dari sana juga Mark berkata: Orang yang Anda nikahi adalah orang yang dengannya Anda beradu mulut. Nikah tidak perlu terlalu dipikirkan seberapa mewah pestanya, seberapa banyak biayanya, seberapa berani nyalinya. Nikah tidak perlu untuk menunggu banyak hal saat telah ada calon pasangan yang mana sosoknya kita butuhkan dalam kehidupan berkeluarga. “Nikah” itu hanya bagian kecil dari betapa bergelimangannya persoalan hidup ini. Lantas mengapa begitu rumit dan menyita waktu lama untuk menyelesaikannya?


Comments

  1. Ingat, nikah urusan mu sama pasangan.

    Bukan orang tua,tetangga atau yg lain.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Mendengarkan Cerita dari Seorang Manusia Lelaki (Sebuah Cerpen)

Ruangan yang Membungkus Si Pemuda (Sebuah Cerpen)

Menikmati Sekaligus Mempelajari Cerita Fiksi (Sebuah Resensi)