Corona Kapan Pergi? Lebaran Sebentar Lagi (Sebuah Esai)

Oleh: Amir Muzaki

Apa kabar hari ini? Sudah berapa lama di rumah aja? Jangan buru-buru dijawab. Karena pertanyaan yang sering dilontarkan Najwa Shihab pada lawan bicaranya dalam Narasi ini akan kita bicarakan di bawah.

Apa yang dimaksudkan oleh Najwa? Apa konteksnya sehingga dia menanyakan itu? Apakah orang itu di rumah saja karena sakit? Atau ada sebab lain?

Ya. Sampai hari ini pemerintah masih bertahan berada dalam pagar "dirumahaja". Sejak dua bulan terakhir virus Corona "resmi" masuk Indonesia. Saya bilang "resmi" soalnya tidak sembarangan orang bisa mengklaim kalau virus itu sudah masuk. Saya kira Anda sudah paham sendiri lah. Virus tersebut punya sebutan lain walau sama. Hanya bedanya ada yang disingkat dan tidak disingkat. COVID-19 atau Corona Virus Disease 19 adalah semacam virus yang menyerang pernapasan. Lebih lengkapnya Anda bisa lihat di websitenya WHO. Dengan adanya dua penyebutan itu, kita pakai satu saja; Corona. COVID-19 terkesan terlalu keren. Saya tidak mau mengeren-kerenkan virus yang sudah menginfeksi ribuan orang tersebut.

#Dirumahaja, bagi sebagian kalangan tidak terlalu sulit. Tapi bagi sebagian yang lain ini memang sulit. Sehingga di sini tampak kebijakan tersebut secara tidak langsung menimbulkan dikotomi sosial.

Pertama, dari segi profesi. Kalangan pegawai pemerintahan tentu tidak akan terlalu mempermasalahkan. Karena selain ini sudah menjadi perintah atasan, juga tidak berpengaruh pada pendapatan pokok mereka. Berbeda dengan swasta. Dari pengusaha sampai buruh-buruhnya dihantam "krisis". Stabilitas perusahaan anjlok, PHK di mana-mana. Kemudian pedagang, yang buka di malam hari dibatasi jam kerjanya. Bahkan ada yang memilih meliburkan diri. Walaupun sebenarnya itu tidak ada dalam daftar pilihan mereka. Liburnya pedagang tentu saja bukan hal yang menyenangkan.

Kedua, mengenai himbauan untuk di rumah aja dan kebijakan yang menyertainya seperti social dan physical distancing atau PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) tampak di dalam masyarakat satu dikotomi sosial yaitu antara kaum modernis-transformatif dan idealis-tradisionalis. Kaum pertama baik mereka dari kalangan intelek atau bukan, siapa saja yang berkesadaran (saya tulis berkesadaran bukan 'punya kesadaran') mereka akan melaksanakan intruksi pemerintah dengan disiplin. Membiasakan cuci tangan dengan sabun, bila keluar rumah pakai masker, menghindari kerumunan. Akan tetapi dari sekian banyak kaum ini, apakah semuanya murni ikut partisipasi dalam pencegahan virus atau justru mengambil kesempatan untuk malas-malasan saja (libur sholat Jumat misal)? Sebaliknya, kaum kedua berkata, "Orang lagi ada wabah begini kok malah dilarang ke masjid?" Mereka menghendaki supaya tempat ibadah tidak disepikan. Karena semakin banyak orang ke masjid semakin banyak do'a untuk cepat berlalunya wabah ini. Begitu persepsinya.

Namun dengan adanya kalangan yang berpikiran macam itu, pemerintah menjadi tidak berwibawa. Walikota sudah mengeluarkan intruksi kepada seluruh lapisan masyarakat yang berada di daerah yang ia pimpin untuk menjauhi kerumunan, tapi masih saja di sana-sini orang berkumpul. Entah di masjid. Entah juga di tempat umum lain. Di daerah saya saja di bulan Puasa ini menjelang Maghrib jalan raya pasar seperti tahun yang sudah-sudah. Macet.

Bulan Puasa saja demikian, tentu menjelang Lebaran lebih-lebih lagi. Mungkin selama ini belum ada ketegasan dari policy maker, atau mereka masih berada di tengah kebingungan. Karena musuh yang mengancam tidak terlihat. Ataukah malah policy maker termasuk dalam kaum idealis yang ngeyel?

Selain kebingungan, pemerintah agaknya juga saling bertentangan pendapat. Antara presiden dengan menteri, antara presiden dengan kepala daerah, dan mereka yang melarang mudik dengan rakyat. Eksekutif pusat melarang perantau untuk mudik Lebaran ini. Okelah mudik dan pulang kampung itu beda. Kita anggap itu selesai. Tapi kita berharap pelarangan tersebut juga diimbangi dengan tanggung jawab. Tanggung jawab itu diterapkan sungguh-sungguh, dengan berani menjamin pemenuhan kebutuhan para perantau. Jangan sampai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan misalnya warga kelaparan di perantauan--gara-gara tidak punya kerjaan akibat terkena dampak ekonomi pandemi Corona.

Jika pun ada pemudik yang lolos dari cegatan polisi, tentu seisi kampung halaman mereka pasti was-was. Maka diadakannya Posko Pencegahan adalah tindakan tepat. Paling tidak dapat menangkal rasa was-was itu. Bukan corona namanya kalau tidak menyerang fisik dan psikis manusia sekaligus.

Adalah halal bi halal, tradisi masyarakat Indonesia yang dilakukan setiap Lebaran Idul Fitri. Kalau istilah orang Jawa itu "kupat" (bahasa Jawa, artinya ketupat): laku sing papat (perilaku yang empat) yaitu takbiran, membayar zakat, sholat ied, dan silaturahmi. Empat hal itu tidak bisa dilepaskan dari budaya orang Indonesia. Kalau salah satunya tidak dilakukan maka terasa ada yang kurang. Silaturahmi atau halal bi halal di masa pandemi Corona ini kalau "ritual"-nya sama seperti biasanya, akan sangat mengacaukan saya kira. Di mana antar keluarga, antar tetangga, antar teman berjabat tangan. Sudah begitu tetangga ada yang baru saja pulang dari perantauan. Mungkin masih di-test SWAB dan belum keluar hasilnya. Apa yang musti Anda perbuat? 

Lebaran, jika Allah menghendaki, tidak ada setengah bulan lagi. Banyak orang sudah sibuk memilih warna dan model baju. Segelintir lagi masih memikirkan bagaimana agar besok lusa bisa makan. Corona memang kejam. Tapi lebih kejam Anda yang tega membiarkan mereka menderita sedemikian rupa.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Mendengarkan Cerita dari Seorang Manusia Lelaki (Sebuah Cerpen)

Ruangan yang Membungkus Si Pemuda (Sebuah Cerpen)

Menikmati Sekaligus Mempelajari Cerita Fiksi (Sebuah Resensi)