Bukan Pendidikan Daring (Sebuah Esai)


Oleh: Amir Muzaki

Belakangan para siswa dan mahasiswa merasakan manfaat dari telpon pintar--yang selama ini mungkin hanya berguna untuk chatting atau main game online--di dalam masa sekolah atau kuliah mereka. Disebabkan sedang dilarangnya belajar di lingkungan tempat mereka biasa duduk dan menerima pelajaran dari seorang guru. Lebih tepatnya, dilarang mengadakan aktivitas yang mengakibatkan banyak orang berkumpul dalam satu ruangan termasuk kegiatan pembelajaran (tatap muka secara langsung) karena adanya pandemi Covid-19, yangmana virus tersebut menyerang pernapasan manusia. Adapun penularannya lewat sentuhan dan percikan dari mulut dan hidung.

Sekolah dan kampus dialpakan dari kegiatan belajar-mengajar. Semua diminta untuk tinggal di rumah saja--tepatnya, belajar dari rumah dengan gadget masing-masing. Sehingga e-learning pun masif digunakan. Ada yang menyebut ini pendidikan jarak jauh. Ada yang menyebutnya sekolah atau kuliah online. Ada sebagian menyebut dengan pendidikan daring. Yang terakhir ini terkesan janggal.

Sebenarnya dari mana istilah "Pendidikan Daring (dalam jaringan)" itu diambil? Apakah benar-benar ada? Kalau iya, mungkin perlu ditelisik kembali.

Dalam UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisidiknas) pengertian Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Sedang Pendidikan Jarak Jauh adalah pendidikan yang peserta didiknya terpisah dari pendidik dan pembelajarannya menggunakan berbagai sumber belajar melalui teknologi komunikasi, informasi, dan media lain.

Jika ditelaah maka penggunaan istilah pendidikan daring tidak sesuai dengan pengertian yang ada dalam Sisdiknas. Dalam hal sistim yang berlaku seperti saat sekarang ini bukan pendidikan secara utuh yang diubah atau dialihkan. Melainkan hanya satu bagian dari pendidikan, yakni "pembelajaran". Sebab disebutkan di atas bahwa yang memakai teknologi informasi dan komunikasi bukan pendidikan, akan tetapi pembelajarannya. Jadi menurut saya istilah yang tepat ialah "pembelajaran daring".

Menurut Dr. H. A. Rusdiana, pendidikan secara praktis, diartikan sebagai seperangkat kegiatan yang dapat diamati dan disadari yang bertujuan untuk membantu peserta didik agar memperoleh perubahan perilaku (Rusdiana, 2017).

Yang penting untuk digarisbawahi di sini adalah pendidikan sebagai sebuah praktik, dan tujuannya untuk membantu dalam perubahan perilaku. Yang mana berarti pendidikan tidak bisa lepas dari aspek afektif atau sikap, atau perilaku. Lalu bagaimana bila tanpa itu? Bisa saja. Jika semua orang atau minimal dalam satu komunitas masyarakat menghendaki demikian.

Dominasikan aspek kognitif. Full kognitif. Anak sekolah, mulai dari SD suruh mereka mempelajari ilmu pengetahuan- plus teknologi mungkin. Tidak usah tanggung-tanggung, pemerintah tetapkan kurikulum yang full kognitif. Tanpa pembelajaran sikap berperilaku bagaimana yang baik. Niscaya negeri ini mudah mencapai "kemajuan". Otak penduduknya pun maju dan semakin maju. Bahkan bisa jadi keluar dari kesatuan dirinya. Melenting sejauh-jauhnya. Melewati pembatas jalan yang seharusnya tidak boleh dilewati.

Pendidikan semacam ini disebut oleh Kartini Kartono akan menciptakan manusia "salah jadi" (Noor, 2010). Sebut saja seorang siswa sangat pandai dalam pelajaran kimia. Dia begitu tertarik dengan apa yang dipelajari. Mengenai unsur, senyawa dan sebagainya. Dari teori sampai praktik sangat dikuasai. Hingga suatu hari dia menjadi seorang ahli kimia. Dia mampu merekayasa virus. Namun dalam perjalanannya tidak ada penyeimbangan aspek afektif. Di situ dia tidak menghiraukan sisi aksiologis dari ilmu yang dimiliki. Virus itu akhirnya menjadi perantara kekejaman yang "halus". Sengaja disebarkan sampai membunuh banyak orang. Sungguh tidak ada yang menginginkannya.

Sampai saat ini saya mengira pembelajaran daring minim dengan pengembangan aspek afektif. Tidak adanya "sentuhan" langsung pada peserta didik menjadi faktor penyebabnya. Para guru masa kini sudah begitu canggih bila memang harus menjalani pembelajaran daring. Dengan internet dan berbagai macam fasilitasnya, bagi mereka, semua bisa ditangani. Aspek afektif bisa disikapi dengan pemberian materi-materi yang berkaitan dengan kebiasaan sehari-hari yang baik. Tapi apakah para guru dapat memastikannya?

"Kita juga memerlukan peran orang tua". Jawaban yang terdekat pastilah: guru dapat memastikannya melalui orang tua. Dasarnya, pendidikan anak adalah tanggung jawab orang tua (untuk mendidik mereka). Tapi tidak semua orang tua bisa melakukan hal tersebut. Bisa jadi karena keterbatasan pengetahuan, teknik penyampaian, dan atau wibawa mereka di depan anaknya. Habit yang ada pada masyarakat cenderung kepada memasrahkan anaknya kepada sekolah (dalam hal pendidikan). Karena anak-anak dalam usia sekolah tersebut kebanyakan lebih mendengarkan guru di sekolah daripada orang tuanya di rumah. Itulah alasan kontinuitas keberadaan sekolah di samping adanya keterbatasan-keterbatasan tadi.

Saya ingat kondisi pembelajaran sebelum internet melekat dalam berbagai lini kehidupan sekitar tahun 2007. Pengetahuan yang tidak diketahui saat itu benar-benar tidak diketahui. Sewaktu masih kelas 7, saya diberi tugas oleh guru IPA: mencari tahu tentang pesawat supersonic. Saya mencari informasi mengenai pesawat supersonic di perpustakaan sekolah. Namun tidak saya temukan satu pun literatur yang memuatnya. Jika hal yang sama terjadi pada siswa jaman sekarang, sudah pasti dalam 1 menit tugas tersebut langsung selesai. Gadget bertebaran di mana-mana, internet tersebar hampir di seluruh wilayah. Tinggal memasukkan kata kunci di kolom search engine, dalam sekejap informasi yang dimau muncul.

Intinya, pembelajaran daring adalah sebatas media. Bukan menjadi sistim pendidikan baru. Sekalipun media tersebut akan mengalami penyempurnaan. Karena ia tidak dapat mengoptimalkan semua aspek yang mana kesemuanya penting bagi peserta didik. Pendidikan jarak jauh bersifat kondisional. Tidak untuk dipatenkan. Belajar bukan hanya soal membaca, menulis, menghitung, dan mencari pengetahuan. Belajar juga soal pertemuan dan social activity.

Kepustakaan
1. UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional.
2. Rusdiana. 2017. Manajemen Evaluasi Program Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia.
3. Noor, M., Rohinah. 2010. KH. Hasyim Asy’ari Memodernisasi NU & Pendidikan Islam. Jakarta: Grafindo.

Comments

Popular posts from this blog

Mendengarkan Cerita dari Seorang Manusia Lelaki (Sebuah Cerpen)

Ruangan yang Membungkus Si Pemuda (Sebuah Cerpen)

Menikmati Sekaligus Mempelajari Cerita Fiksi (Sebuah Resensi)