Mahakarja (Sebuah Cerpen)



Air muka Ali yang mengkilap berkilauan tersorot bias sinar sore. Diperhatikan sekarang wajahnya seringkali tak berseri. Seperti tengah sakit. Tapi orang-orang tak tahu apa yang baru saja dia kerjakan? Apakah tugas kuliahnya terlalu banyak? Atau jangan-jangan terlalu keras memikirkan kerjaannya yang-katanya- sering membikin stress? Atau...
"Kau kenapa?"
"Memangnya kenapa?"
"Ndak... itu wajahmu kelihatan lesu sekali. Bercerminlah kalau tidak percaya."
"Oh iya, aku lupa tadi tidak mampir SPBU, lalu masuk toiletnya. Padahal ada cermin di sana." Dahi Beni semakin mengernyit mendengar ini.
"Sudahlah... aku tidak apa-apa. Aman... Aman..." katanya sembari menepuk bahu Beni dan berlalu menuju kantin.

Kantin itu milik Pak Sur, malang nasibnya. Kantin yang seharusnya lebih mewah dari sekadar warung makan kecil dengan bangku dan kursi yang panjangnya sama. Gerobak kayu digelantungkan jajanan ringan limaratusan. Pantasnya lebih luxury dari itu. Disediakan etalase kaca berisi makanan-makanan hits misal. Jika tidak minimal ada ayam opor dan rendang terlihat dari jarak dua meter. Sehingga wujudnya di balik kaca mengundang mahasiswa-mahasiswa-pekerja yang (sudah seyogyanya) berduit. Dan warung makan untuk orang-orang berduit haruslah dibuatkan dinding. Agar ketika hujan tempiasnya tidak terlempar ke mangkuk-mangkuk mie instan yang sedang lezat-lezatnya disantap orang-orang berduit- maksudnya mahasiswa.

Dilihat sepintas sepatu ketsnya dan pakaian ditambah aksesoris umat mahasiswa kampus ini rata-rata berkelas (tampilannya). Entah itu ori atau kw yang jelas mereka sukses menjadi simbol peradaban anak muda masa kini. Modern, modis, glamour, dan... konsumtif? Bisa jadi. Laki-lakinya bergelagat seperti artis FTV (mungkin masih dalam pengaruh gambaran mahasiswa di FTV-FTV yang mereka tonton). Perempuannya semuanya berjilbab, cantik-cantik seperti Putri Iklan kalau kata Charly Van Houten. Setiap sore ketika kaki mereka turun dari sepeda motor matic, selalu ada pesona-pesona bagi penikmat keindahan. Bekas tapak-tapak sepatu mahasiswa dan mahasiswi pun bervariasi tercetak di atas tanah yang sedang basah. Baru tadi siang hujan. Ada satu injakan yang terlalu dalam sehingga mereka refleks berteriak "Oh noooo..."

***

"Kau tidak masuk kelas Li?" Berdecit alas ketsnya, Dini, teman sekelasnya buru-buru lari menuju ke dalam. Beni menanyai soal lowongan kerja yang mau ditawarkannya, Dini hanya menjawab sambil lalu, "Nanti saja. Dosennya kicker." Kicker?

Sambil mengisap nikmat pangkal kretek di sela dua jari, seperti kebiasaannya, Ali  nyinyir, "Mahasiswa sini kebanyakan takutnya."
"Termasuk kau Li," kontan ditanggapi Beni.
"Aku tidak takut. Memang sengaja mengalah. Dosen itu eksklusif minta ampun. Tidak mau lihat-lihat kondisi mahasiswa kampus ini. Payah..." terangnya pada Beni dan kawannya yang lain. "Kalian ini... maggut-manggut saja. Bosan aku. Mending ngopi saja... Pak, kopi item satu..." pintanya pada Pak Sur.
"Ah, satu doang... kau pikir yang dari tadi mendengar ocehanmu itu apa? tembok???"
"Betul... itu kau tahu..."
"Ya. Setidaknya kau yang agak miring. Bisa-bisanya ngobrol sama tembok."

Lelucon yang konyol sekali, kata Beni. Sama dengan lelucon yang merebak karena ketidaksengajaan petinggi kampus ini. Itu saja sudah cukup konyol, dibumbui lagi lelucon oleh keluguan dosen kicker itu. Begitu tambahnya. Menurutnya keberadaan kampus ini sarat paradoks. Kampus dengan mahasiswa pekerja (sudah tidak perlu disangsikan lagi kemandiriannya. Bayar uang kuliah pun dengan hasil keringat sendiri). Butuh prestasi kuliah dari mahasiswa- sebagaimana sewajarnya, tapi mahasiswa-mahasiswa itu, mereka harus bekerja untuk kuliah. Maka "jangan berharap lebih wahai Bapak, Ibu..." selorohnya.

Belum lagi si Ali yang katanya butuh jawaban, dan akhirnya bertanya pada cermin toilet yang setiap saat bersih padahal belum tentu sebulan petugas kebersihan mendapat gaji; "Bukankah setidaknya aku bekerja untuk mengumpulkan uang demi masa depan, membangun usaha, membangun rumah, menikah... Atau untuk membantu pemasukan belanja orang tua? Tapi kenapa yang terjadi sangat konyol. Aku bekerja karena aku takut melepaskan diri dari pekerjaan itu. Berkutat di dalam kerangkeng neurotik sambil menunggu bom waktu meledak (bom itu ada lebih dari dua bertebaran di beberapa tempat tapi hanya satu orang korbannya). Dan mungkin kau tahu cara apa yang dapat ia lakukan untuk menepikan gangguan pikiran? Bantu ia.

Ali, mahasiswa studi Manajemen, seorang ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan-yang sebenarnya tidak pernah ia menginginkan jabatan itu. Ia mengaku bukan orang organisasi. Menurutnya ada banyak orang organisasi di sini, yang lebih pantas menjadi ketua HMJ. Tapi mereka cenderung egois. Memikirkan dirinya sendiri. Tidak mau repot mengurusi organisasi mahasiswa-lebih-lebih sebagai ketua. Baginya itu wajar-sebab mereka bukan mahasiswa sejati. Tapi tetap ia mengutuk. Idealismenya ciut. Kuliah yang penting kuliah, dapat nilai, lulus, nikah, berkeluarga. Dan di tahap itu kelak mereka akan berkata, "tidak terasa sudah jadi bapak."

***

"Ayo, masuk. Dosen sudah datang." semuanya angkat kaki dari lantai batako warung Pak Suroto kecuali Pak Suroto sendiri, Beni dan Ali.
"Ayo, Nu, pulang," Ali bangkit. Matanya tertuju pada Pak Sur- berniat membayar kopi hitamnya.
"Li, kau hari ini ke kampus mau apa? Cuma datang terus pulang..."
"Menjenguk kau, Nu."
"Lalu...?"
"Membayar pajak pada Pak Sur." Pak Sur pun tertawa.
"Pajak apaan...? orang tadi kau minta kopi..." sanggah Beni. "Pajak tuh ya kita bayar aja. Apa kita pernah minta pada negara ini, pada pemerintah, padahal kita bayar pajak...?"
"Oke oke... bagaimana, ada apa Pak Benu?" Ali duduk kembali di samping Beni

Beni merogoh dompet di dalam saku jeans warna abunya yang sangat sempit. Tangannya sampai harus terjepit. Waktu dompet keluar, KTPnya malah meloncat ke wajah Pak Sur. Ia mencoba meraih kepingan identitasnya itu. Tapi tidak sampai. Seperti bisa ditebak, Ali hanya tertawa. Pak Sur membungkukkan badan, memungut KTP Beni.
"Maaf, Pak."
"Mau kau apakan KTPmu Ben?" ujar Pak Sur bersama tangannya menyodorkan KTP.
"Ini, Pak... Mau kutunjukkan nama asliku ke Ali."
"Memang siapa nama aslimu, Ben?"
"Pak Sur lihat saja sendiri ini..." Beni menunjukkan sisi yang lengkap memperlihatkan biografi singkatnya.
Pak Sur mengeja pelan,"Beni Budiman."
Ali lagi-lagi berkelakar.
"Beni, Benu sama saja... sama-sama jomblonya."
"Terserah kau mau panggil aku siapa. Asal jangan kau panggil aku 'cinta'... jijik."
"Iya... mending tetep jomblo saja ya," kelakarnya mulai reda.
"Genderuwo, sini, duduk dulu," suruh Beni.
"Siap, Pak Jelangkung!"
"Ada apa...?"
"Jawab serius dan terus terang. Kenapa sekarang kau kelihatan pucat?"
"Maaf, aku tidak mengakui kalau mukaku pucat."
"Oke. Apa hal buruk yang kau lakukan akhir-akhir ini?"
"DM sepuluh cewek tapi tidak dapat respon satu pun."
"Hadeh... percuma bicara sama orang dungu." Beni pun mengikuti langkah pergi temannya yang lain... tanpa salam penutup.
"Hei mau ke mana?"

***

Esok hari. Wajah Ali semakin pasi. Matanya sayu. Amat gontai ia melangkah. Ada sesuatu yang keras di lekukan rahangnya yang jarang nampak. Hawanya bagai gumpalan awan hitam sedang bergemuruh. Ujung sepatunya menghempas sekumpulan rumput yang mungkin sedang menikmati tenang sore ini. Beberapa helai di antaranya tercabut dan melayang lalu ada satu jatuh mengenai jaket parasut hitam yang biasa ia kenakan.

Tak hirau helai rumput menempel, langkahnya tetap melesat. Masih gontai. Perlahan tapak sepatunya hinggapi lantai menuju pintu masuk utama gedung kampus. Pintu alumunium yang masih rapat menyambut. Gagang besi seukuran lengan anak kecil diraih lalu pintu dibukanya dengan lemah, tak sampai setengah menganga pintu ia tutup kembali.

Ali mendekatkan jam di pergelangan tangan hingga dua jengkal dari pandangan. Angka-angka digital di balik kaca jam itu menampakkan angka 16.00 dengan titik dua berkedip mengikuti angka 04 menuju 05. Lalu tangannya kembali mengayun mengiringi langkah, menuju kelas manajemen sore kampus Mahakarja.

Sampai di depan ambang pintu kelas terlihat mahasiswa lain telah menata duduknya dengan rapi. Seperti perintah dosen yang saat ini pasti sudah berada di depan mereka. Sang kicker!

Namun santai Ali memasuki ruangan. Seluruh pasang mata kontan tertuju padanya dari jidat hingga jempol kaki yang bersembunyi di balik kets putih hitam bertali coklat secoklat kulitnya. Kemeja merah yang sedikit nampak, hanya di bagian dada, tapi sudah cukup menggambarkan keberaniannya. Sebenarnya bukan karena merah kemejanya lalu Ali dapat dicap berani. Melainkan celana jeans biru yang menantang sang dosen.

"Mau apa?"
"Kuliah." Bibirnya gemetar. Bukan gemetar ketakutan. Lebih seperti menggigil.
"Keluar... Kamu tidak pantas kuliah."
"Maaf Pak, tapi apa salah saya?"
"Tidak usah tanya-tanya lagi. Keluar!"
"Sudah datang terlambat, celananya tidak pantas..."
"Saya cuma telat 3 menit Pak. Saya baru saja pulang kerja. Dan celana saya kenapa Pak? Apakah kotor, tidak rapi, tidak sopan, mengumbar aurat?"
"Keluar sekarang juga!"
Teman-temannya bagai sedang menonton adegan bentak-membentak yang biasa ada di sinetron. Dan Ali saat itu menjelma menjadi sang tokoh protagonis. Ia hanya mengangkat bahu lantas mengatakan, "Baik. Saya keluar. Terima kasih untuk waktunya meladeni saya."

Drama itu pun bersambung. Di luar Beni melintas. Pas saat Ali menarik pintu yang tak sampai rapat. Beni menangkap wajah Ali yang jauh lebih pucat dari biasanya. Kecurigaannya bertambah melihat getaran pundak Ali.

"Li, mau ke mana?" Beni menegur tapi Ali bergegas menuju tolilet. Beni sempat menangkap gigil di antara bibirnya. Sejenak Beni diam. Ada firasat tidak beres, ia ikuti ke mana Ali menuju.

Ali masuk toilet. Beni menunggu di balik tembok batas antara lorong tengah kampus dan toilet. Tak lama Ali keluar. Menggigil. Tak hanya mulut. Tapi seluruh tubuhnya menggigil. Tangannya yang bergetar dituntun mendekat ke mulut. sebagian kulit lengan diapit giginya. Ia tekan. Lalu menyeruak warna merah membercak di bibirnya. Ia menghisap itu. Kemudian pelan-pelan terjongkok. Gigilnya berhenti. Namun ia kelihatan sangat tak berdaya.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Mendengarkan Cerita dari Seorang Manusia Lelaki (Sebuah Cerpen)

Ruangan yang Membungkus Si Pemuda (Sebuah Cerpen)

Menikmati Sekaligus Mempelajari Cerita Fiksi (Sebuah Resensi)