Kawin dengan Kambing (Sebuah Cerpen)





Jika fabel dihuni hewan-hewan bertingkah seperti manusia, maka kisahku ini adalah kebalikannya, di mana manusia tak beda tingkah dengan hewan—Tak mengenal busana—Tak mengenal malu. Birahi ya birahi… tidak penting ditutup-tutupi, tidak pikir untuk perlu dihalang-halangi? Tak peduli dengan siapa melampiaskannya. Istri tetangga, pacar teman, atau pacar siapa saja, istri siapa saja, atau bukan punya siapa-siapa; dan bukan punyaku juga.

            Kisah ini aku awali saat matahari pagi masih sehangat pelukan. Si Takib yang sedang main benthik denganku berseloroh, “Diliatin Tuti, cieee… dia suka tuh ama kamu. Ntar kamu kawin aja ama dia.”

            Tuti. Anak gadis yang lebih tua sekitar dua tahun dariku. Orang tuanya bisa digolongkan sebagai warga miskin di kampung kami. Sebagian dari kami senang mengolok-oloknya, bahkan satu waktu kelewatan, sampai angin mengantarkan gelegar petir ke rumahku. Bapaknya marah sekali. Namun bukan karena mereka miskin lalu kami mengolok-olok. Melainkan si Tuti itu sendiri. Banyak orang kampung kami menilai ia jelek. Selain itu bicaranya tidak sewajar anak-anak seusia dia; gagu. Dari alasan-alasan itu pun aku berani dengan lantang mengatakan, “Gak sudi! Daripada aku kawin ama dia mending aku kawin ama wedhus!” Aku ini lelaki berharga. Lelaki baik. Lelaki yang mencapai standar ketampanan; pikirku demikian. Cewek sekelas Tuti jauhlah dari tipe dan levelku.

            Tapi siapa yang tahu akibat dari serentet mantra yang terucap. Semisal manusia kawin dengan hewan; sekadar ‘kawin’ boleh jadi, kan?

Manusia kawin dengan kambing.
Kisahnya tak seanomali itu. Hanya sekadar manusia yang berkawin seperti kambing. Atau seperti kerbau—kumpul kebo; bukankah itu hal yang wajar? Tanyalah saja pada pemuda-pemudi, juga penganut hedonisme. Bersenang-senang itu prioritas utama, bukan? Meskipun melupakan norma-norma yang ada. Halah, peduli setan dengan norma.
***

            Mantra itu seperti bermagis. Huruf-hurufnya seolah terbentuk di zaman purba dan mewujud kembali di dunia yang serba ada ini, yang di sini bisa kulihat tingkah manusia yang seperti hewan. Tidak ada malu sediktipun bergila-gilaan di depan kamera dengan tubuh ‘polos’. Dan mereka; laki-laki dan wanita, sesama wanita, dan sesama laki-laki, mereka berkawin seperti kambing. Atau kerbau. Atau anjing—gaya anjing? Aku suka sekali gaya itu.

            Sudut kamarku adalah satu gelaran ritual, gerbang alam khayal menuju pendalaman peran para lelaki perkasa di dalam film ‘panas’ ala Jepang. Hingga akhirnya aku merasa berkhayal saja kurang dari lebih. Aku sangat tertarik mencoba. Sekali, dua kali, tiga kali, hingga berbelas kali aku mencicipi berbeda-beda rasa, coklat, mocca hingga vanilla.

Bersama bidadari tak berhijab; full aurat, aku merasa surga agaknya datang dipercepat. Benar kupikir kekata orang tua tempo hari di halaman lokalisasi. Ia kuarkan kata-katanya bersama nafas beraroma miras, “Jangan pernah berpikir yang belum terjadi. Tuhan pasti mengizinkanmu untuk hidup abadi.” Serupa motivasi dunia malam. Pujangga pun terkalahkan. Tapi aku juga tidak tahu apa kerjaannya selain sebagai pemabuk dan petualang ranjang. Karena boleh jadi dia pun pujangga.
***
Di bangku pos ronda bawah rembulan purnama kisah ini akan kupungkas. Duduk di sebelahku si Takib yang telah menjelma jadi bapak-bapak berkumis. Kawan-kawan sejawatku tak tersisa lagi yang bujangan, hampir semuanya telah beranak-pinak. Malam ini si Takib tanpa pembuka barang sekata menyinggung renyah, “Jangan lama-lama membujang, ntar gak ada yang mau lho.”

Aku jawab, “Biarin...” dengan tawa geli.

“Semua jenis perempuan, yang hitam, sawo matang, putih, belang, semuanya udah pernah aku cicipi,” kataku dengan bangga, “kalau ada jenis baru pun pasti aku bakal nyobain,” lanjutku dengan kelakar kemudian.

Takib tiba-tiba membelokkan arah perbincangan, “Udah, nikahin aja tuh si Tuti...”

Sontak aku terkenang. Kalimat si Takib itu tak teramat berbeda dengan yang dahulu ia ucapkan tatkala kami tengah bermain benthik di pekarangan. Hampir  aku menanggapinya dengan jawaban yang sama persis dengan jawabanku waktu itu: “Daripada kawin ama dia mending kawin ama wedhus!
***

Sudah lama Tuti dan keluarganya pergi meninggalkan kampung. Mereka pergi hingga jauh dari manusia lain. Mungkin mereka sudah tidak akan percaya lagi dengan siapa pun kecuali dari kalangan mereka sendiri. Mereka akan menutup diri untuk selamanya. Namun satu hal yang Tuti tinggalkan; karma untukku. Mulutku telah jadi harimauku.

Keterangan:
wedhus : kambing.
benthik : permainan dengan dua batang tongkat yang salah satunya lebih kecil.

Comments

  1. Endingnya kok gantung mas. Jadinya kawin sama wedus apa sama Tuti nih. Bye keren ih . Ternyata mas Amir penulis tho. Tak kira pegiat literasi saja. Good then. Saya suka

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Mendengarkan Cerita dari Seorang Manusia Lelaki (Sebuah Cerpen)

Ruangan yang Membungkus Si Pemuda (Sebuah Cerpen)

Menikmati Sekaligus Mempelajari Cerita Fiksi (Sebuah Resensi)