Kado Ultah PERGUNU ke-68 (Sebuah Resensi)



Oleh : Amir Muzaki


Saya memungut buku ini Januari 2020 kemarin di sebuah toko buku Kota Pekalongan. Total isinya ada 210 halaman. Pada sampul belakang buku ini yang berwarna hijau tua, warna yang identik dengan organisasi massa (ormas) Islam yang tercantum pada judulnya dikatakan, "...karya ini juga dimaksudkan sebagai kado kepada NU yang akan menyelenggarakan muktamarnya ke-32 pada Maret 2010 di Makassar".

Dalam kolofon tertera: cetakan I, Maret 2010. Itu artinya yang saya dapatkan ini stok lama. Tapi saya membelinya bukan di penjual buku bekas ya. Memang ada rak buku stok lama di toko itu, tapi saya tidak memungut dari sana. Kalau menurut perkiraan saya, kemungkinan terbesar mengapa stok lama ini hadir di jajaran buku baru adalah sebagai "kado" seperti salah satu maksud dari penulis menerbitkan karyanya ini.

Buku ini kembali menjadi "kado". Pada 31  Januari 2020, NU memperingati hari lahirnya yang ke-94. Distributor turut menjadi bagian di dalamnya dengan menghadirkan sebuah karya yang berasal dari thesis sang penulis, Rohinah M. Noor tentang pemikiran K.H. Hasyim Asy'ari dalam hal pengembangan pendidikan Islam.

Terkait pendidikan, review buku ini saya buat tepat dengan peringatan salah satu badan otonom (banom) yang menaungi insan yang berjasa dalam bidang tersebut yakni guru, di sini terkhusus guru dari kalangan ormas Islam terbesar di Indonesia (NU), yang biasa disebut PERGUNU atau singkatan dari Persatuan Guru Nahdlatul Ulama. Yang mana dibentuk 68 tahun yang lalu dari hasil konferensi Lembaga Pendidikan Ma'arif NU (LP Ma'arif) dan baru dibentuk pimpinan pusatnya pada 1959 dengan ketua umum Bashori Alwi (nu.or.id).

Jika kita tarik benang masa, maka kita akan menemukan jejak-jejak awal NU berasal dari lembaga pendidikan. Lembaga tersebut sekarang masih tetap bertahan dan mempertahankan ciri tradisionalismenya di tengah modernnya zaman. Lembaga pendidikan itu adalah pesantren.

Dalam buku "KH. Hasyim Asy'ari Memodernisasi NU dan Pendidikan Islam", pesantren menjadi salah satu pusat pembahasan. Hal itu wajar. Karena selain memang menjadi ciri khas pendidikan NU, dari pesantrenlah pendiri NU berasal. KH. Hasyim Asy'ari tumbuh di lingkungan pesantren. Kakek KH. Hasyim dari garis ibu merupakan pemilik pesantren dan ulama besar di daerah Nggendang, Jawa Timur. Yang mana estafet kepengurusan pesantren itu berikutnya dipegang oleh ayah beliau, Kyai Asy'ari.

Di zaman yang modern ini, manusia mempunyai tuntutan dari luar dirinya untuk menyesuaikan dengan segala macam kemajuan yang mempengaruhi hampir semua sektor di dalam kehidupan. Tak terkecuali: Pendidikan. Maka pesantren yang cenderung konservatif juga tidak bisa lepas dari jangkauan tangan modernisasi tersebut.

Keberadaan pesantren tidak terpisah dari  santri dan ustadz, serta kyai. Sekuat apapun mempertahankan tradisionalismenya, ketiga unsur pesantren tersebut tidak dapat menampik penggunaan handphone, komputer, internet, dan segala sesuatu yang melingkupinya. Sebab mereka manusia biasa. Dan NU bukan semacam kelompok yang eksklusif. Sedikitnya ketradisionalan pesantren terletak hanya pada penggunaan kitab kuning dan sistim nilai dalam pembelajaran/pendidikannya.

Sejalan dengan itu, Gus Dur menjelaskan-ditulis oleh Greg Barton-dalam buku ini, "sistim pesantren pada dasarnya memiliki kekuatan yakni kemampuannya untuk menjaga etos sosial dan sistim nilai secara kokoh...". Nilai-nilai tersebut belum tentu didapatkan di lembaga pendidikan lain selain pesantren. Terkhusus masalah tata krama. Hubungan murid dan guru yang subordinatif (ketaatan murid terhadap gurunya mutlak) menjadi salah satu faktor bagaimana bisa pesantren melakukan hal demikian. Kejadian seperti santri menyiksa ustadznya tidak pernah terdengar di telinga kita. Yang mana hal tersebut pernah terjadi di lembaga pendidikan umum.

Setelah tadi berkata soal kelebihan, kini berlanjut mengenai kelemahan pesantren. Sebenarnya bukan pesantren saja, akan tetapi juga di lembaga pendidikan madrasah. Apa saja kelemahan itu?

Dijelaskan lebih dari satu kali di buku ini, bahwasanya rata-rata pesantren masih terkendala oleh pola manajerial. Hal tersebut dikarenakan pengelola pesantren (dalam hal ini pendiri) memiliki skill leadership yang kurang memadai. Berikutnya atau yang kedua yakni persoalan yang terletak pada momentum tepat untuk maksud apa tulisan ini diupayakan; yakni mengenai guru/pengajar. Guru-guru dari kalangan NU banyak yang kualitasnya minim. Penulis dalam buku ini memberikan saran antara lain, agar para guru atau calon guru dapat memanfaatkan pendidikan tinggi untuk meningkatkan kualitasnya, juga agar para guru / kader NU yang berkecimpung di dunia pendidikan dikirim ke sekolah di luar negeri, untuk mereka sebatas mempelajari ilmu-ilmu yang di negara sendiri kurang maksimal pembelajarannya.

Terakhir. Disimpulkan oleh Imam Sucheno terkutip pada bagian ketiga (buku ini terbagi menjadi empat bagian atau empat bab), bahwa penyebab lemahnya kualitas lembaga pendidikan NU antara lain: 1) LP Ma'arif masih curiga akan pembaharuan dari Barat, 2) adanya ambivalensi antara pola pendidikan yang transendental dan budaya asing yang sarat nilai kapitalis dan materialis, 3) anak didik menjadikan pendidikan seakan-akan hanya penggugur kewajiban saja, 4) gaji guru yang rendah.

Dan perlu diperhatikan bahwa, memang NU dahulu berdiri untuk menahan pemikiran Muhammad Abduh yang masuk ke Indonesia yang menggoyahkan tradisi masyarakat. Akan tetapi sekarang pemikiran Muhammad Abduh justru perlu dikembangkan dalam pendidikan NU yang masih cenderung ke taklid. Padahal untuk melangkah kepada kemajuan salah satunya adalah dengan menerapkan metode berpikir kritis terhadap apa saja yang menghampiri kepala kita.

Demikian sedikit cuplikan dari buku KH. Hasyim Asy'ari Memodernisasi NU & Pendidikan Islam karya Rohinah M. Noor, MA, seorang kader muda NU kelahiran Cirebon. Ia alumni pondok pesantren. Dan pendidikan formal terakhirnya S2 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Buku ini cukup luas memberikan gambaran bagaimana kondisi pendidikan di bawah naungan NU sekarang. Yang jelas, NU tidak jalan di tempat soal pendidikannya. Namun seperti dikatakan penulis adalah dinamis menurut ukuran tradisi NU sendiri.

Comments

Popular posts from this blog

Mendengarkan Cerita dari Seorang Manusia Lelaki (Sebuah Cerpen)

Ruangan yang Membungkus Si Pemuda (Sebuah Cerpen)

Menikmati Sekaligus Mempelajari Cerita Fiksi (Sebuah Resensi)